Dua tahun lalu saat masih kerja bareng dengan FB untuk bikin sosialisasi FB ads kepada UKM di seluruh Indonesia, saya pernah bilang begini:
“Hati-hati kalau punya ilmu marketing. Anda bisa memperbaiki dunia, atau malah sebaliknya: menghancurkannya.”
Bedanya marketing & penjahat itu cuma 1: produk. Penjahat tidak peduli dengan apa yang dia jual. Mau customer masuk jurang, mati, atau sakit dalam jangka panjang, dia nggak ada urusan. Selama bisa jualan, produk amburadul, tidak sesuai antara isi, label, & marketing content, dihajar aja. Asal masih cuan.
Fenomena ini makin marak karena makin banyak orang yang membutuhkan recognize (pengakuan). Ingin punya uang lebih banyak untuk beli mobil lebih bagus, rumah lebih besar, terlihat makmur & sukses.
Beberapa yang lain ingin terlihat lebih hebat dibandingkan yang lain, tinggi-tinggian traffic iklan, besar-besaran profit, agar dipuja banyak orang.
Hal ini dikenal dengan istilah status game.
Naval mengatakan di salah satu podcast-nya: status game is a dangerous game.
Dulu sebelum masuk era-pertanian, saat homo sapiens masih hunter-gatherer, mereka memainkan status game; siapa yang kuat dia yang menang. Setelah masuk zaman pertanian, game mulai berubah menjadi wealth game; karena orang sudah mulai bisa menyimpan makanan agar bertambah kaya. Tapi fatalnya masih banyak orang masih terjebak untuk memainkan status game.
Status game akan selalu berkebalikan dengan wealth game. Orang yang memainkan status game akan menjadi angry combative person; menyerang dan menghancurkan orang lain atau kompetitor. Win or lose situation. Sementara wealth game sebaliknya, tidak terinterupsi orang lain, fokus pada world abundance, keberlimpahan. Creating value. Membagikan cinta.
Orang yang memainkan wealth game akan selalu diserang oleh orang yang memainkan status game. Di masa apapun, di zaman apapun. Mereka ingin mengalahkan orang lain untuk sebuah kemenangan yang “virtual”.
Memainkan status game akan menciptakan zero-sum game: lose-lose situation. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Agar menemukan kebahagiaan, kita harus memainkan wealth game. Agar kita mengenal batas kita, kemampuan kita, tanpa harus menjadi monyet yang bisa saling membunuh hanya karena makanan.
Masalahnya, makin kesini, hal ini makin sulit. Makin langka. Makin kabur. Saya pun masih sering terjebak. Meski sudah berulang kali dinasihatkan oleh para ulama.
“Bekerjalah untuk dunia seakan-akan engkau hidup selamanya.” Berkelimpahan. Masih ada hari esok. Compete with yourself.
Saya jadi teringat lagi hadits Nabi,
“Akan datang suatu masa, orang yang memegang teguh agamanya seperti memegang bara api”.