Dalam beberapa bulan terakhir, saya dan tim di kantor berdiskusi sangat intens mengenai beberapa topik besar: pendidikan, privilege (keistimewaan), ketahanan pangan, lalu research & development.
Diskusi ngalor ngidul, tidak ditentukan secara terjadwal topiknya, tergantung topic starternya aja.
Beberapa pemikiran sudah pernah saya share di timeline FB saya.
Berikut ada beberapa tambahan untuk memberikan penekanan; khususnya untuk diri saya sendiri:
Seseorang tidak bisa memilih, dia lahir dengan keistimewaan atau tidak. Tapi seseorang bisa memilih sikap dia dalam memanfaatkan keistimewaan tersebut.
To all privileged people (including me, I talk to myself): don’t be an asshole.
Create illusions to motivate people by explaining that your success is a mere single hard-work issue only, is a moral-crime.
Menciptakan ilusi untuk memotivasi orang lain bahwa kesuksesan saya adalah hanya semata-mata karena kerja keras saya, adalah kejahatan moral. Apalagi diiringi niat untuk mengeruk harta benda orang lain dari ilusi yang diciptakan tersebut.
Tapi di satu sisi, privilege juga memang bukan satu-satunya hal yang menentukan kesuksesan seseorang. Ada berbagai macam bumbu di sana. Salah satu bumbu juga ada yang bernama keberuntungan.
Oleh karena itu, saya mengategorikan “bragging” di depan orang lain untuk sebuah kesuksesan yang saya capai, adalah dosa; setidaknya untuk diri saya sendiri. Untuk alasan apapun. I try to eliminate “kata orang” or “apa kata orang” from my own dictionary.
I’m not sure what’s the ultimate factor that influenced me in this condition that I considered to myself as a success.
Jangan merebut kebahagiaan orang lain dengan menggunakan privilege yang kita miliki. Jangan merebut kebahagiaan orang lain dengan membandingkan standar kebahagiaan mereka dengan kita.
Lebih dalam lagi, jangan menyakiti diri kita dengan membandingkan standar kebahagiaan kita dengan standar orang lain. Just don’t give it a f*uck.
Seperti kata Mark Twain, “Comparison is the death of joy”.